Kamis, 12 Juni 2008

PELANGGARAN HAM, KONFLIK SOSIAL& USAHA-USAHA PENYELESAIANNYA,DI PROPINSI ACEH 1)


I. PENDAHULUAN

A. PEMBERLAKUAN ACEH SEBAGAI DAERAH OPERASI MILITER.

Sejak diberlakukan Daerah Operasi Militer (DOM) tahun 1989-1998 di Propinsi Daerah Istimewa Aceh setidaknya terjadi 7.727 kasus pelanggaran HAM (sumber: Forum Peduli HAM). Penerapan status DOM di Aceh tersebut merupakan puncak dari represi pemerintah RI untuk melangsungkan dan menjaga kepentingannya di Aceh. Keuntungan pemerintah pusat sekitar 33 Trilyun pertahun dari hasil bumi Aceh tersebut bukanlah jumlah yang sedikit, apalagi dibandingkan dengan pengembaliannya sebesar 1 persen (kira-kira 600 Milyar pertahun ke Aceh). Pada saat itu pemerintah mengkampanyekan pentingnya memberantas Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) untuk menjaga keamanan masyarakat, namun disisi lain konflik-konflik tersebut sengaja dibangun sekaligus dipertahankan untuk melegitimasi tindakan-tindakan represif yang bertujuan menjaga kepentingan-kepentingan bisnis pemerintah pusat.

Dengan terus menerus menciptakan isu-isu GPK dan berlanjut dengan diadakannya operasi-operasi militer merupakan shock therapy untuk mematikan keberanian rakyat Aceh untuk melakukan koreksi, kritik atau upaya-upaya yang lainnya untuk menuntut hak-hak meraka baik dibidang ekonomi, sosial maupun di sektor politik. Dengan situasi seperti ini militer jelas mendapat keuntungan secara financial, mereka mempunyai hak untuk menekan perusahaan-perusaaan besar yang ada di Aceh agar memberikan semacam dana untuk jaminan keamanan. Sudah barang tentu jumlah "dana jaminan" tersebut tidak sedikit.

Militer selalu menggelar sweeping ke Kampung-kampung di Kabupaten Aceh Timur, Aceh Utara dan Pidie dengan dalih untuk mencari anggota GPK. Disaat itu pula masyarakat di dera ketakutan, karena tak jarang tanpa alasan yang jelas mereka yang di culik, dipukuli, disiksa bahkan dibunuh di depan masyarakat yang lain. Dari fenomena seperti inilah kejahatan-kejahatan kemanusiaan baik dalam skala kecil hingga besar tumbuh subur di bumi Aceh. Hal ini merupakan awal dari terjadi pelanggaran-pelanggaran HAM di Aceh.

_____________
B. PASCA DOM

Setelah Presiden B.J.Habibie mencabut status Daerah Operasi Militer di Aceh tanggal 7 Agustus 1998 ternyata tidak memiliki perubahan yang berarti. Dalam kenyataanya Pelanggaran HAM pasca pemberlakuan DOM justru lebih berat baik dalam kualitas maupun kuantitasnya. Ironisnya hal itu berlaku sampai sekarang. Pada eskalasi tertentu terlihat upaya-upaya pemerintah untuk mengatasi persoalan pelanggaran HAM dan penyelesaian konflik. Namun di hal yang lain, karena upaya penyelesaian yang dilakukan oleh pemerintah lamban dan terkesan tidak serius, maka pada perkembangan berikutnya perubahan peningkatan konflik yang terjadi bukan saja pergeseran isu dan tuntutannya, tetapi juga dibarengi dengan pergeseran pola dan fase-fase kekerasan yang digunakan oleh aktor dan pihak-pihak terutama yang terlibat langsung dalam konflik.

Sulitnya meminta keadilan dari pemerintah membuat rakyat Aceh banyak melakukan protes dan pembakangan. Namun jarang sekali protes-protes tersebut didengarkan sehingga kondisi semakin memburuk. Ditengah kondisi seperti ini, terjadi beberapa peristiwa yang membawa pengaruh buruk bagi masyarakat diantaranya:
Mogok Massal dan Transportasi

Aksi mogok pertama-tama terjadi pada saat menjelang pemilu, Juni 1999 sehubungan dengan isu boikot pemilu yang dimotori oleh mahasiswa dan NGO. Pada saat ini proses mogok terorganisir dengan baik. Banyak masyarakat yang mendukung dan terlibat dalam proses ini untuk menunjukkan pada pemerintah Indonesia bahwa rakyat Aceh butuh keadilan atas dosa-dosa politik dari pemerintah. Mogok ini berlangsung selama beberapa hari dan efeknya sangat terasa. Pasar-pasar tutup, angkutan tidak beroperasi dan tidak ada seorang pun yang keluar rumah.

Selanjutnya setelah kesuksesan yang pertama, yang menyedihkan sekelompok orang mulai menggunakan isu mogok ini untuk kepentingannya, misalnya di pakai sebagai alat untuk menunjukkan kekuasan, alat teror dan kepentingan ekonomi. Isu-isu yang disebarkan menyebabkan rakyat resah dan kebingungan. Akibat isu mogok yang berkembang semakin meluas dan dilansir oleh media massa, masyarakat khawatir kekurangan pangan sehingga berbondong-bondong memborong sembako. Hal ini langsung berpengaruh kepada melonjaknya harga barang. Banyak di antara masyarakat yang tidak tahu alasan dan siapa yang menyuruh mogok, tetapi karena khawatir menjadi sasaran kekerasan dari berbagai pihak, akhirnya memutuskan untuk tidak keluar dari rumah, termasuk pergi ketempat kerja, anak-anak tidak bersekolah dan pasar tutup. Akhirnya mogok menjadi hal yang juga meresahkan rakyat.

Dilain hal, mogok masih menjadi cara rakyat Aceh untuk protes atau menentukan sikap. Contohnya pemogokan supir truk akibat pungli aparat di jalan sepanjang Medan-Banda Aceh yang dalam tahun ini saja berlangsung dua kali. Mereka baru melakukan aktivitasnya ketika ada jaminan dari Kapolda bahwa tidak akan ada pungli. Pemogokan supir truk ini menyebabkan harga barang dan pangan melambung serta kekurangan stok. Beberapa tempat malahan masyarakat mulai kelaparan, seperti di Geumpang, Kecamatan Pidie Selain itu stok oksigen untuk rumah sakit habis dan sangat membahayakan kondisi pasien yang membutuhkan bantuan oksigen, gas untuk memasak langka, proses pengorganisasian untuk basis yang dilakukan oleh Flower dan NGO lain terhenti, bantuan untuk pengungsi terhambat serta banyak keluhan lainnya.
Pengungsian (IDP,s)

Pengungsian pertama sekali terjadi setelah DOM dicabut, yaitu tanggal 27 Pebruary 1999 karena ada kekerasan yang dilakukan aparat militer sewaktu melakukan sweeping di desa (Pidie). Jumlah pengungsi mengalami fluktuasi dan sangat tergantung dengan kondisi keamanan. Jumlah terbanyak adalah sekitar 250.000 s/d 300.000 orang yang terjadi pada bulan Juni s/d Agustus 1999. Penyebab terjadinya pengungsian ada beberapa hal, semakin keruhnya konflik, alasan pengungsianpun lebih berkembang dan modus pengungsiannya juga makin beragam (Sumber: RPUK), diantaranya:
Penyisiran oleh aparat TNI/Polri. Ketika aparat keamanan melakukan penyisiran ke Desa-desa dengan alasan mencari anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) atau anggota mereka yang hilang, sering sekali melakukan tindakan yang sangat arogan terhadap masyarakat sipil. Dalam penyisiran tersebut, tidak jarang mereka terlibat kontak senjata dengan GAM. Paska kontak senjata aparat selalu melakukan tindakan yang sangat brutal seperti tembakan yang tidak terarah yang melukai dan menewaskan masyarakat.
Pembakaran rumah oleh aparat TNI/Polri dan GAM. GAM dalam beberapa kasus juga melakukan penyerangan terhadap aparat keamanan di sekitar perkampungan penduduk atau pusat pasar. Aparat keamanan biasanya langsung membalas serangan tersebut kepada masyarakat sekitar seperti membakar rumah dan pertokoan. Contoh: kasus pembakaran 96 rumah penduduk di Juli, Bireuen, 167 toko milik masyarakat di Lhokseukon dan lainnya. Diperumahan transmigrasi yang didominasi oleh suku Jawa, GAM juga membakar rumah-rumah dan memaksa mereka pergi. Umumnya mereka mengungsi meninggalkan Aceh untuk pergi ke daerah-daerah lain yaang mereka anggap aman.
Dipaksa Mengungsi oleh Pihak GAM.
Dalam beberapa kasus masyarakat meninggalkan tempat kediamannya karena diminta dan kadangkala dipaksa oleh pihak GAM dengan alasan bahwa aparat keamanan akan masuk ke Desa untuk melakukan penyerangan terhadap GAM dan masyarakat pasti akan terkena imbasnya. Tidak jarang masyarakat juga dijadikan komuditas politik untuk melakukan tawar-menawar diantara pihak-pihak yang bertikai. Hal terjadi di Kecamatan Tanah Luas Aceh Utara yang mengungsi ke Exxon Mobil Oil, pada bulan Juli 2000, Julok Aceh Timur dan Jagong Jeged Aceh Tengah.
Intimidasi dan Teror.
Dalam beberapa kasus, intimidasi san teror yang dihadapai masyarakat, baik dari aparat polisi/TNI maupun dari pihak GAM, menjadi alasan bagi masyarakat untuk melakukan eksodus. Hal ini terjadi dalam kasus pengungsi Mbang, Aceh Utara dan beberpa kasus di Aceh Tengah dan Aceh Timur.
Eskalasi kekerasan Meningkat

Kekerasan sudah menjadi menu sehari-hari di Aceh. Semua koran yang menulis berita Aceh penuh dengan berita-berita pelanggaran HAM ataupun kekerasan. Terkadang kekerasan bukan hanya dilakukan pihak RI dengan TNI/Polrinya atau GAM, melainkan juga pihak yang selalu disalahkan untuk melemparkan tanggungjawab dari masing-masing pihak dengan penyebutan Orang Tak Dikenal (OTK).

Selain itu, kekerasan terhadap perempuan tetap terjadi, perkosaan massal terhadap perempuan di Matangkuli merupakan salah satu dari contoh kasus lainnyanya. Baik pihak TNI maupun GAM menolak mengaku terlibat dalam kasus tersebut. Sedangkan saksi menyatakan bahwa pelakunya terdiri dari satu kelompok laki-laki yang berseragam loreng dan bersenjata lengkap.

Dari berbagai kasus yang terjadi, ternyata kekerasan di Aceh bukan hanya menimpa rakyat kecil di desa yang terpencil dan jauh dari akses informasi, namun juga menimpa petugas kemanusiaan, aktifis dan tokoh-tokoh masyarakat serta ulama. Pembunuhan Dokter Fauziah, Teungku Nashruddin anggota DPR RI, Jaffar Sidiq dari International Forum for Aceh, relawan RATA, Safwan Idris Rektor IAIN, Teungku Kamal (anggota tim Jeda Kemanusiaan) dan Suprin Sulaiman (pengacara), serta baru-baru ini Mayor Jendral HT Johan (anggota MPR Utusan daerah, Ketua Partai golkar dan mantan Wagub Aceh), memenuhi daftar kematian yang penuh misteri. Dan sampai saat ini pelaku belum terungkap.
Ekonomi Hancur

Kondisi Aceh yang porak poranda membawa pengaruh buruk bagi perekonomian. Hancurnya berbagai sumber ekonomi penduduk karena pembakaran, pengrusakan ataupun gagal panen karena mengungsi menyebabkan daya beli di masyarakat menurun drastis. Pasar sering sepi tanpa traksaksi. Menurunnya daya beli diringi pula dengan tidak tersedianya beberapa kebutuhan tambahan. Banyak pedagang yang tidak berani mendatangkan barang karena terlalu riskan untuk berspekulasi dengan situasi keamanan yang tidak stabil. Kondisi ini mengakibatkan perputaran keuangan di Aceh berjalan lambat.

Tutupnya berbagai sarana vital di Aceh Utara seperti Exxon Mobil, PT PIM dan pabrik-pabrik raksasa yang selama ini memberi keuntungan bagi Indonesia semakin memperburuk kondisi perekonomian Aceh. Berhentinya produksi diikuti dengan pindahnya sebagian besar karyawan proyek vital tersebut keluar Aceh menyebabkan transaksi di pasar Aceh Utara yang selama ini didominasi oleh mereka menjadi sepi. Selain itu beberapa karyawan proyek vital tersebut juga harus kehilangan pekerjaan karena perusahaan sendiri tidak bisa memastikan kapan akan beroperasi kembali ditengah suasana yang tidak kondusif sekarang ini.

Ketiadaan barang diikuti dengan meningkatnya harga yang membuat masyarakat semakin resah karena kemampuan untuk membeli justru menurun drastis. Ancaman hidup dalam kemiskinan semakin mendekati kehidupan sebahagian besar masyarakat Aceh khususnya yang tinggal di wilayah konflik.
Lumpuhnya Hukum dan Pemerintahan.

Hukum yang selama ini menjadi tumpuan harapan rakyat menjadi lumpuh. Banyak hakim atau jaksa yang minggat dari Aceh dengan alasan demi keamanan. Hampir semua pelaku pelanggaran lolos dari jeratan hukum. Bahkan didaerah konflik para pelaku kejahatan merasa bebas untuk melakukan segala macam jenis kejahatan karena mereka yakin hukum tak akan menjerat mereka. Hal ini disebabkan lembaga-lembaga hukum tidak berjalan seperti biasa. Kantor-kantor pengadilan (baca: di daerah sarat konflik) di tutup, bahkan beberapa diantaranya dibakar, atau isinya di jarah. Akibatnya pengadilan dilakukan secara jalanan. Bila pembuat kejahatan tertangkap maka akan diadili dengan cara main hakim sendiri. Polisi dan penegak hukum membuat pengadilan sendiri. GAM juga ikut membuat pengadilan dengan caranya sendiri. Beberapa kasus akhirnya masyarakat juga membuat pengadilan sendiri. Hal ini juga semakin melegitimasi terjadinya proses impunity di Aceh.

Lembaga Pemerintahanpun tak luput dari kelumpuhan. Hampir disetiap instansi Pemerintahan mendapat acaman-ancaman baik secara langsung maupun tak langsung. Hal ini berakibat fatal karena insan pemerintahan merasa ketakutan sehingga tidak dapat menjalankan tugas-tugas pemerintahan yang menjadi tanggung jawabnya. Belum lagi pembakaran dan pengrusakan kantor pemerintahan yang semakin marak membuat ketakutan dan rasa was-was aparatur pemerintahan semakin besar. Mereka juga beralasan bahwa tidak adanya ketentraman lagi jika berada di kantor untuk bekerja. Sehingga ada beberapa tempat yang aktifitas pemerintahan terganggu atau terhenti.
Politik Bumi Hangus

Politik bumi hangus menjadi cara kedua belah pihak untuk unjuk kekuatan dan menghilangkan barang bukti. Pembakaran rumah-rumah saat ini marak sebagai ekses dari kontak senjata atau penyisiran. Pemberondongan yang dilakukan terhadap aparat di jalan biasanya akan dibalas dengan pembakaran yang dilakukan terhadap rumah-rumah penduduk di sekitar lokasi kejadian. Namun juga tidak jarang beberapa penduduk harus kehilangan rumahnya tanpa tahu apa yang menjadi penyebab serta siapa pelakunya. Terkadang cara membakar digunakan juga untuk menduduki suatu wilayah tertentu. Sejak periode 1 Mei 1999 s/d 10 Juni 2001, ada 3.957 unit rumah yang terbakar di Aceh, dengan jumlah perincian: 2 dari Banda Aceh, 108 Aceh Besar, 746 Pidie, 500 Bireuen, 736 Aceh Utara, 948 Aceh Timur, 365 Aceh Tengah, 248 Aceh Barat dan 304 Aceh Selatan (Sumber FP. HAM). Selain itu ada ratusan sekolah dan gedung-gedung pemerintah yang juga di bakar. Pembakaran sekolah tersebut berimplikasi langsung kepada mundurnya sistem pendidikan di Aceh. Saat ini lebih dari 350.000 anak tidak lagi bersekolah (Sumber: Yayasan Anak Bangsa).


II. UPAYA PENYELESAIAN:
Pemerintah

Paska DOM, ada beberapa hal yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam upaya untuk menyelesaikan persoalan Aceh. Banyak cara yang dilakukan, namun masyarakat menganggap bahwa upaya yang dilakukan pemerintah itu masih setengah hati dan bersifat lips servis saja. Beberapa upaya tersebut diantaranya adalah:
Syariat Islam

Pada masa Pemerintahan Soekarno, pemberontakan yang pernah dilakukan rakyat Aceh (Pemberontakan DI/TII) diselesaikan lewat cara dialog. Presiden Sukarno saat itu memahami apa yang diinginkan oleh rakyat Aceh, dan penyelesaian yang diberikan saat itu adalah status istimewa (dalam bidang Agama, Pendidikan dan Adat Istiadat) untuk daerah Aceh. Hal tersebut disambut hangat oleh segenap lapisan masyarakat. Namun pemberian status tanpa dilanjuti dengan implementasi ternyata menjadi faktor pendukung untuk pemberontakan selanjutnya yang terjadi sampai saat ini. Rakyat Aceh merasa diingkari dan dikecewakan. Pemerintahan Suharto menjawab kekecewaan itu dengan berbagai Operasi Militer.

Pada masa kepemimpinan presiden Habibie, Pemerintah mencoba mengangkat kembali persoalan status daerah istimewa ini lewat pendekatan Syariat Islam. Berbagai reaksi dari masyarakat muncul pada saat itu. Sebahagian besar menanggapi dengan kegembiraan yang berlebihan, sehingga banyak yang lupa Syariat Islam yang ditawarkan itu tanpa konsep yang jelas dan tidak menyentuh akar persoalan di Aceh.

Sementara itu, sebahagian kelompok masyarakat lainnya merespon Syariat Islam tersebut dengan menggelar berbagai razia (yang mengarah kepada kekerasan) terhadap perempuan-perempuan yang tidak menutup kepalanya. Syariat Islam yang dipahami saat itu adalah perempuan-perempuan yang menutup kepalanya dengan jilbab atau penggantian berbagai nama instansi dan perkantoran lainnya dengan bahasa Arab. Dalam masa ini tercatat banyak sekali kasus perempuan menjadi korban kekerasan dalam razia jilbab (di gunting rambut, digunting baju atau roknya, dilempar dengan tomat atau telur, kejar pakai tongkat, disorakin beramai-ramai di pasar) dan berbagai bentuk kekerasan lainnya.

Di bawah kepemimpinan Abdurrahman Wahid, Syariat Islam kembali ditawarkan sebagai solusi penyelesaian Aceh. Kali ini dengan dukungan legislatif lewat Draft Rancangan Undang-Undang nangroe Aceh Darussalam (RUU NAD) namun tampaknya Syariat Islam ini tidak akan memberikan penyelesaian untuk kasus Aceh yang sudah sedemikian kompleksnya.
Jeda Kemanusiaan , DMD

Meningkatnya kekerasan di Aceh yang tidak hanya menelan korban dari kalangan aparat TNI/POLRI dan GAM namun sebahagian besarnya adalah masyarakat sipil, telah menarik perhatian berbagai kalangan salah satunya Hendry Dunant Centre (HDC). Melalui kerja sama dengan Pemerintah disepakati suatu kegiatan untuk menghentikan sementara aksi-aksi kekerasan oleh kedua kelompok yang bertikai lewat pelaksanaan jeda kemanusiaan. Dibentuklah Tim yang terdiri dari perwakilan RI dan GAM untuk membicarakan upaya-upaya penyelesaian sengketa dan memantau berbagai aksi kekerasan yang dilakukan oleh kedua pihak di lapangan.

Jeda Kemanusiaan ini berlangsung sejak Juni s/d Agustus 2000, setelah berakhir masanya, program ini di evaluasi dan dilanjutkan kembali. Jeda yang semula diharapkan masyarakat bisa membantu menyelesaikan persoalan Aceh, ternyata tidak efektif. Perwakilan kedua belah pihak yang ada di dalam Tim tersebut hanya membicarakan kepentingan kedua belah pihak saja (tidak cukup jelas sejauh mana kepentingan masyarakat sipil menjadi komitmen keduanya), sementara dalam masa jeda setiap hari korban dari kalangan masyarakat sipil terus berjatuhan. Masyarakat diminta untuk melaporkan kekerasan yang mereka alami kepada Tim ini, namun Tim ini tidak pernah memikirkan keselamatan / jaminan keamanan bagi masyarakat (korban) setelah mereka melapor.

Jeda kemanusiaan akhirnya hanya bekerja untuk penyaluran bantuan dan merekomendasi berbagai lembaga yang ingin bekerja/menyalurkan bantuan untuk masyarakat. Itupun menimbulkan berbagai persoalan, karena Lembaga yang direkomendasi kriterianya bias dengan kepentingan masing-masing pihak. Setiap NGO yang mau ke desa harus mendapat surat dari Tim jeda, kalau tidak akan kesulitan dilapangan

Usai masa jeda kemanusiaan yang kemudian dilanjutkan dengan Moratorium yang berlangsung selama tiga bulan, fakta keamanan selama sebulan dan akhirnya Damai Melalui Dialog (DMD) hingga saat ini, belum ada hal yang signifikan yang sudah dicapai untuk penyelesaian kasus Aceh.
Rancangan Undang-Undang Nangroe Aceh Darussalam (RUU NAD)

RUU NAD ini lebih merupakan cara elit politik Aceh menafsirkan keinginan masyarakat Aceh. Ironisnya masyarakat sendiri khususnya di lapisan bawah tidak mengerti apa yang sebenarnya yang diinginkan elit Politik Aceh lewat RUU NAD ini. RUU NAD digodok di DPRD tingkat I dan kemudian dibawa ke pusat untuk diproses. RUU yang katanya yang katanya diperuntukkan bagi rakyat Aceh ini, dalam pembahasannya (dari tingkat daerah sendiri) hanya melibatkan segelintir orang dan tanpa sosialisasi ke masyarakat. Rancangan RUU ini pernah mandeg dan dikembalikan untuk digodok ulang di daerah. Sampai saat ini RUU NAD tersebut masih dalam pembahasan di Jakarta.
Inpres No. IV\2001.

Inpres ini dikeluarkan Abdurrahman Wahid untuk menyelesaikan masalah Aceh secara konprehensif. Ada enam langkah yang dijelaskan dalam Inpres tersebut diantaranya bidang ekonomi, sosial, hukum, pendidikan, keamanan dan bidang media. Namun diantara semuanya bidang keamananlah yang paling menonjol penanganannya. Beberapa hari setelah Inpres ditandatangani, ribuan aparat keamanan didatangkan ke Aceh. Operasi Keamanan dan Penegakan Hukum (OKPH) dilakukan dengan penuh perhitungan, demikian Sulaiman AB anggota KBMK Kuala Tripa menegaskan. Namun kenyataannya sampai dengan satu bulan setengah setelah Inpres no IV itu diterapkan untuk penegakan hukum dan keamanan, tidak ada satu kasuspun yang sampai kepengadilan, sementara 107 orang terbunuh, 176 orang cedera berat dan ringan, 135 orang di tangkap, 180 rumah di bakar serta 99 rumah di jarah (data: temu pers di Kuala tripa, Damai Melalui Dialog tanggal 15 Mei 2001). Jadi masyarakat menilai Inpres no. IV/2001 adalah sejarah yang berulang (Operasi militer).


B. Masyarakat sipil:

Masyarakat sipil pun mengadakan penguatan-penguatan untuk memulihkan keadaan Aceh. Penguatan itu sangat penting karena secara logika Aceh bukan hanya milik orang bersenjata melainkan milik rakyat sipil yang notabene lebih banyak jumlahnya. Penguatan itu dilakukan dalam bentuk:
Pengorganisasiaan Masyarakat

Pada dasarnya ada beberapa NGO yang mulai melakukan penggorganisasian terhadap masyarakat sipil sejak DOM masih berlangsung. Tetapi karena kondisis yang represif, pe3ngorganisasin berjalan dengan lambat. Namun dari proses pendampingan yang dilakukan secara terus menerus dan masa waktu yang panjang, akhirnya lahir beberapa organisasi di tingkat rakyat. SeIA (Serikat Inong Aceh), Permata (Perhimpunan Petani Aceh) dan Surkla (Serikat untuk Korban Lingkungan Aceh) adalah contoh wadah yang lahir dari pengorganisasian. Banyak hal positif yang didapat dari pengorganisasian, diantaranya rakyat akan lebih mengenal politik dan tahu cara menuntut hak mereka yang terampas, membangun kekuatan bersama, mengembangkan kembali budaya lokal yang tercerabut dan lainnya. Namun yang menjadi kendala masyarakat sipil ini selalu ditekan dan dijadikan sasaran kekerasan oleh pihak bertikai, dan belum memiliki posisi tawar yang cukup kuat menghadapi kedua belah pihak.
Kampanye

Kampanye adalah salah cara yang dipakai oleh NGO, mahasiswa, korban dan berbagai elemen lainnya untuk menyampaikan berbagai bentuk belanggaran HAM dan lainnya yang terjadi di Aceh, baik ke dalam maupun ke luar negeri. Hal ini penting, mengingat banyak fakta yang disembunyikan pemerintah dari mata dunia. Para aktivis Aceh melakukan kampanye secara terus menerus baik melalui media cetak maupun elektronik atau ikut serta dalam undangan tingkat internasional termasuk mengikuti sidang UN PBB. Lobby-lobby yang dilakukan para aktivis diharapkan bisa mendapat dukungan pihak negara luar untuk menyelesaikan masalah Aceh. Melihat pemerintah sulit untuk menyelesaikan masalah Aceh, maka para aktivis punya harapan dengan campur tangannya pihak luar masalah Aceh terselesaikan. Negara luar akan menekan pihak Indonesia untuk mengadili pelanggaran HAM sesuai dengan standar dan prosedur internasional untuk memberi keadilan terhadap rakyat Aceh.
Lobby di tingkat Kampung

Masyarakat semakin hari semakin sadar akan hak mereka sebagai warga negara. Mereka mengenal politik secara praktis berdasarkan pengalaman mereka tertindas selama ini. Tidak mengherankan bila kesadaran mereka berpolitik lebih bagus dari masyarakat yang bukan tinggal di Aceh. Proses pembelajaran itu berlangsung perlahan tapi pasti. Kalau dulu masyarakat melihat warganya ditangkap mereka akan ketakutan, namun sekarang tidak begitu lagi. Beramai-ramai mereka akan mendatangi kantor polisi meminta pelepasan warganya. Demikian juga kalau ada diantara warga yang diambil GAM, mereka juga melakukan hal yang sama. Masayarakat belajar untuk mensiasati untuk dapat hidup bertahan diantara dua kelompok yang bertikai dan berbagai kelompok lainnya yang mempunyai berbagai kepentingan.



Posisi Perempuan dalam Konflik.

Melihat keadaan Aceh yang semakin ruyam, kini jadi pertanyaan adalah dimanakah posisi perempuan? Melihat realita saat ini ada beberapa posisi yang sering dihadapi/perankan perempuan, diantaranya:
Sebagai Triple Korban.

Sebagai individu maupun komunitas yang paling rentan dan mengalami banyak kekerasan dan menerima dampak yang kerapkali secara tidak tunggal tapi multi sector secara bertingkat dan berlipat ganda maka perempuan dapat dikatakan sebagai triple korban. Sebagai triple korban perempuan mengalami kondisi dibiarkan (pembiaran) terhadap kekerasan dan penderitaan yang dialaminya, diisolasi dari kehidupan normal dan komunitasnya, dilebelkan sebagai partisan dari kedua pihak yang bertikai, dijadikan objec dan sasaran teror serta taktik perang, dipolitisir dengan dimobilisasi untuk dijadikan alat bergaining serta diekploitasi dengan menjadikan perempuan sebagai tameng dan pagar betis untuk kepentingan pihak lain.
Sebagai Survivor.

Perempuan memang seringkali merasakan dampak dari kekerasan terlebih dahulu dan mengalami dampak secara bersamaan. Situasi yang berubah drastik dan beban yang ditanggungnya seringkali membuat perempuan harus terpanggil dan tampil sebagai pengganti. Kondisi ini menunjukkan kefleksibelan dan daya adaptasi perempuan yang tinggi dalam menghadapi perubahan. Beradaptasinya perempuan dan berperannya perempuan sebagai penganti dan penanggung jawab menjadikan perempuan sebagai orang yang bisa bertahan dan sukses dalam pertahan tersebut.
Sebagai Pelayan

Peran yang diemban perempuan sebagai ibu, perawat dan pelindung terhadap anak dan keluarganya, membawa perempuan sebagai pelayan untuk mempertahankan dan melanjutkan kehidupan tersebut. Perempuan merasa terpanggil untuk meneruskan kehidupan. Keberlanjutan kehidupan ini mengusik perempuan untuk memberikan pelayanan kepada orang lain tidak hanya dalam keluarga tetapi juga kepada komunitas yang lebih jauh.
Sebagai Agent of Change

Perempuan sering terlebih dahulu mempunyai gagasan yang cukup cemerlang dan keberanian yang luar biasa. Gagasan dan inovasi perempuan membawa perubahan dalam komunitasnya. Pada saat orang lain terbenam dalam situasi konflik yang memojokkan kehidupan, justru pada saat itu sering perempuan menunjukkan gagasan cemerlangnya. Gagasan tersebut sering sekali timbul pada saat kelangsungan hidup dan regenerasi terancam.



III. USULAN/REKOMENDASI
Mediasi dan Negosiasi

Dilihat dari apa yang seharusnya ada dalam rekonsiliasi, perempuan sebagai kelompok yang diposisikan sebagai Triple Korban, Survisor, pelayan, dan agent of change mempunyai potensi sebagai mediator dan negosiator. Sebagai orang atau kelompok yang punya potensi seharusnya lebih banyak perempuan yang dilibatkan sebagai mediator dan negosiator. Kenyataannya seringkali peran tersebut dijalankan perempuan hanya sekedar basa-basi dan pelengkap penderita, yang kerapkali hanya memamerkan bahwa proses mediasi dan negosiasi tersebut sudah berperspektif gender. Padahal kenyataannya posisi dan peran yang dimainkan perempuan disana diarahkan sebagai pelengkap bukan sebagai pengambil keputusan sehingga warna mediasi dan negosiasi itu tidak menunjukkan sama sekali apa yang diinginkan oleh banyak perempuan yaitu kelangsungan hisup harus terus dipertahankan dan dilindungi secara tegas dan kekerasan harus dihentikan dengan segera.

Keinginan perempuan itu tergilas dengan keinginan dan keakuan pihak-pihak yang lebih menonjolkan maskulinitasnya sebagi pihak yang harus menang dan mendapat banyak pengakuan dan legitimasi.

Proses mediasi dan negosiasi ini seharusnya mengacu pada suatu formulasi yang menempatkan kepentingan masyarakat sipil yang sesungguhnya bukan pada kepentingan para pihak yang bertikai. Karena apabila dalam mediasi dan negosiasi seperti konflik Aceh semata-mata hanya berlandaskan pada kepentingan para pihak yang berkonflik tidak akan pernah tercapai apa yang namanya rekonsiliasi. Kepentingan masyarakat sipil yang bukan sebagai pihak bertikai merupakan regensia pengimbang, regensia pengimbang itu sesungguhnya perempuan.
Rekonsiliasi pada akar rumput

Pembangunan perdamaian pada akar rumput merupakan tahapan yang sangat menentukan dalam proses rekonsiliasi. Rekonsiliasi sesungguhnya dan permanen tidak akan terjadi bila pada akar rumput tidak terbangun proses tersebut. Perempuan sebagai kelompok terbanyak dari segi jumlah, kelompok yang palinh rentan, kelompok yang paling netral harusnya diberi ruang sebagai pemegang kunci dalam proses ini.

Pada kenyataanya rekonsiliasi akar rumput ini sudah dijalankan oleh perempuan-perempuan secara baik walaupun hanya pada lingkungan yang lebih kecil. Namun peran yang dimainkan perempuan seringkali tidak mendapat perhatian lebih besar apalagi mendapat peluang dan dukungan dan tidak dianggap strategis bahkan ada kecendrungan upaya-upaya pematahan yang sangat sistematis terhadap apa yang telah diperankan oleh perempuan.

Tidak ada komentar: