Kamis, 12 Juni 2008

KONFLIK INDONESIA ACEH PENYELESAIANNYA

( Oleh: Z. Afif )



1. Konflik Indonesia


Di Indonesia, di dalam masyarakat di seluruh Kepulauan Nusantara yang
dikatakan "berbhineka tunggal ika", namun yang kenyataannya
heterogin,
sekarang ini terdapat berbagai konflik atau kontradiksi atau
pertentangan
(seterusnya saya pakai terminalogi "konf lik" saja). Konflik itu ada
yang
tajam, ada yang tidak tajam. Ada yang kompleks atau rumit, ada pula
yang
sederhana. Ada yang mudah untuk diselesaikan, ada yang sangat sulit
dicari
sumbernya, sehingga memerlukan pemikiran yang arif-bijaksana untuk
menanga
ninya.

Kita akui atau tidak, konflik itu sudah jadi pampangan di depan kasat
mata
kita. Yang soal, konflik apa saja? Konflik antara apa saja? Konflik
antara
siapa saja? Konflik macam mana saja? Dasar fundamental konflik itu
apa?
Konflik pokok dan segi pokok kon flik apa? Cara mengurus, mengatasi
dan
menyelesaikan konflik itu bagaimana?


Macam-macam konflik


Di dalam bingkai yang disebut "Negara Kesatuan Republik Indonesia"
terdapat pelbagai macam konflik. Konflik antara pusat dengan daerah.
Konflik antara permerintah pusat dengan daerah di luar Jawa. Konflik
antara pemerintah dengan rakyat. Konflik antara go longan berkuasa
dengan
yang dikuasai. Konflik antara partai berkuasa dengan partai yang
tidak
berkuasa. Konflik antara golongan eksekutif dengan golongan
legislatif.
Konflik antar etnis atau yang disebut "suku bangsa". Konflik antara
kaum
buruh dengan maj ikan. Konflik antara modal asing dengan modal dalam
negeri. Konflik antara kaum tani dengan tuan tanah. Konflik antara
kaum
nelayan dengan juragan atau pemilik perahu atau kapal penangkap ikan.
Konflik antara pedagang kaki lima dengan petugas "penertiban"
pasar. Konflik antara orang kaya dengan orang miskin. Konflik antara
polisi dengan tentara. Konflik antara Angkatan Darat dengan Angkatan
Laut
dan Angkatan Udara. Konflik antara kaum konservatif dengan golongan
progresif. Konflik antara yang mau membang un demokrasi dan reformasi
dengan yang menghambat dan menentangnya. Dan masih terdapat aneka
rupa
konflik lainnya di dalam masyarakat manusia dan alam Nusantara, yang
dapat
dirinci satu persatu.


Dasar konflik


Semua konflik itu ada karena ada dasar sosialnya. Dasar utamanya
adalah
ekonomi. Ekonomi merupakan dasar fundamental konflik-konflik itu.
Atas
dasar fundamental itu muncul ke permukaan konflik politik, konflik
hukum,
konflik sosial, konflik budaya, konfli k etnis, dan sebagainya.


Konflik antara pemerintah pusat dengan daerah secara politik,
ekonomi,
hukum, sosial, budaya adalah konflik antara sentralisasi dengan
desentralisasi. Tetapi dasarnya adalah konflik ekonomi. Karena daerah
tidak punya hak menentukan di bidang ekonomi, maka
menimbulkan berbagai konflik lainnya. Kekuatan ekonomi menentukan
segalanya. Kedudukan pusat sebagai majikan dan daerah sebagai kuli
atau
bahkan hamba sahaya saja. Tanpa mengangkangi secara rakus sumber-
sumber
daerah, pusat tidak punya sumsum dalam tula ngnya dan tak punya zat
perekat sendi-sendi tubuhnya.


Konflik pokok dan segi pokok konflik


Konflik pokok dalam kawasan Indonesia sekarang ini adalah antara
Pemerintah Jakarta dengan daerah. Yang dimaksud dengan daerah
meliputi
rakyat, etnis dan pemerintah di daerah. Kekuasaan pusat atau Jakarta
sangat kuat mencengkeram daerah. Kekuatan utama p emerintah pusat ada
pada
militer, kaum modal, kapitalis birokrat, kaum oligarkis. Walaupun
rezim
militer telah ditumbangkan oleh rakyat, tetapi militer (khususnya
Angkatan
Darat) masih mendominasi kekuasaan rezim Jakarta. Kedominasiannya
tidak
boleh diuku r hanya dari kwantitas atau jumlah orangnya yang menjadi
menteri, anggota parlemen dan pejabat dwifungsi mulai dari puncak
kekuasaan hingga ke basis (pedesaan). Melainkan harus dilihat juga
campur
tangan militer (secara terang-terangan atau terselubung) d i bidang
ekonomi. Harus dilihat pula pada kwalitas kekuasaan itu sendiri.
Apakah
kekuasaan di Indonesia sudah demokratis dan reformis? Apakah hukum
sudah
berjalan dengan menghamba kepada rakyat kebanyakan? Apakah militer
sudah
menjadi pengayom masyarakat ? Semua pertanyaan ini dengan kukuh
menyediakan jawaban: belum. Militer merupakan segi pokok yang
menghambat
pembinaan demokrasi dan reformasi yang menyeluruh. Militer yang telah
menyusup ke dalam berbagai partai politik, menongkrongi berbagai
jabatan
pem erintahan sipil, menjadi kapitalis birokrat, mitra atau centeng
kaum
oligarkis merupakan penghadang terhadap tegaknya hukum yang memihak
kepada
rakyat. Tegaknya hukum seperti itu sekaligus ancaman untuk
menertibkan
militer itu sendiri. Berarti militer ti dak lagi mendominasi
kekuasaan dan
tidak lagi menjadi segi pokok sebagai penentu kwalitas kekuasaan.


INPRES Nomor 4 Tahun 2001 dari Presiden Abdurrahman Wahid secara
hakiki
menunjukkan otak dan kepentingan pembimbingnya adalah para jenderal
Angkatan Darat. Rentetan pertemuan petinggi TNI terutama Angkatan
Darat
sebelum keluar Inpres itu merupakan pertand anya. Persiapan latihan
militer antigerilya selama tiga bulan sudah dilakukan sebelumnya.
Begitu
pula pernyataan-pernyataan bersifat militerisme dan haus darah yang
mengancam Aceh dan Papua Barat dari Menhankam yang mantan rektor
perguruan
tinggi Islam,
jenderal-jenderal pemegang komando Angkatan Darat serta pasukannya
seperti Kostrad, Kopassus semuanya menunjukkan hakekat kekuasaan RI
masih
didominasi militer.


Jelas, kekuasaan pusat atau Jakarta sangat kuat dan bersifat
menentukan
atas daerah. Dengan demikian kekuasaan pusat merupakan segi pokok
dari
konflik antara pusat dengan daerah. Sifat konflik itu sudah
berkwalitas
permusuhan, yang menjadikan pemerintah J akarta sebagai sasaran
perlawanan
daerah bahkan sebagian daerah sudah menjadikannya sebagai musuh dan
menempuh jalan untuk memisahkan diri dari RI. Inpres Nomor 4 Tahun
2001
merupakan sarana rezim Jakarta dalam menyelesaikan konflik secara
antagonisme a tau secara menghancurkan lawan, bukan secara damai.


Menajam atau menjadi tumpul konflik pokok itu sangat tergantung pada
cara
pengurusan atau cara penyelesaiannya. Karena segi pokok konflik
adalah
pemerintah pusat atau Jakarta, maka tindakan pemerintah Jakartalah
yang
menjadi penentu hukum perkembangan ko nflik itu - akan menjadi tidak
tajam
dan mereda atau sebaliknya menjadi tajam. Perbedaan yang tidak tajam
dapat
berkembang secara kwantitas sehingga mencapai satu kwalitas yang
tajam,
kalau tidak ada kebijakan penyelesaian konflik secara tepat dari
semula .
Hilang sama sekali konflik itu tidak mungkin. Sebab pusat dan daerah
sebagai satu kesatuan materi dalam bentuk sebuah negara, merupakan
sebuah
kesatuan dari dua segi yang bertentangan. Biar bagaimanapun
demokratisnya
sebuah kekuasaan pusat dari satu neg ara, perbedaan-perbedaan dan
ketidakpuasan tertentu tetap ada - baik pusat terhadap daerah maupun
sebaliknya, daerah terhadap pusat. Di negeri-negeri paling demokratis
seperti Swedia, Denmrak, Norwegia konflik antara pusat dengan daerah
bukan
tak ada, tet api tidak sampai menajam, karena diselesaikan secara
demokratis dan militer tinggal di tangsi dengan tugas utama membela
negara
dari ancaman asing. Inpres Nomor 4 Tahun 2001 sebagai payung hukum
operasi
militer resikonya besar dan merugikan rezim Jakarta sendiri.


2. Konflik Aceh


Kautsar, 24, seorang pemuda dan aktivis SIRA (Sentral Informasi
Referendum
Aceh), dalam sebuah wawancara dengan KONTRAS mengatakan: Konflik Aceh
bukan konflik etnis antara etnis Jawa atau lainnya di Indonesia.
Bukan
konflik agama. Di Aceh terjadi konflik nasional. Konflik nasional
Aceh
yang di dalamnya terdiri dari kaum kelas menengah dan bawah bersatu
menentang penindasan yang dilakukan oleh Republik Indonesia. Konflik
Aceh
adalah konflik rakyat dengan Indonesia.(KONTRAS No.123 Tahun IV 7 -
13
Februari 2 001).


Saya fikir konflik itu harus ditegaskan sebagai konflik antara rakyat
Aceh
dengan penguasa Indonesia. Yang kita sebut rakyat Aceh sekarang ini
adalah
semua penduduk Aceh yang kepentingannya dirugikan oleh pemerintah
pusat
RI, yang mempunyai perasaan tidak
puas kepada pemerintah RI, yang merasa diperlakukan tidak adil oleh
pemerintah RI, yang menunjukkan sikap menentang ketidakadilan
pemerintah
RI, yang mengajukan tuntutan kepada pemerintah RI dalam masalah-
masalah
keadilan politik, ekonomi, hukum, sosial,
budaya, pendidikan, kebebasan berorganisasi, kebebasan menyatakan
pendapat, kebebasan berapat dalam jumlah kecil dan besar, kebebasan
turun
ke jalan melakukan unjuk rasa secara dapai.


Rakyat Aceh, penduduk Aceh - tani, buruh, nelayan, pedagang, miskin
kota,
kaum cendekiawan, ulama, kaum santri, pengusaha, pegawai pemerintahan
(sipil dan nonsipil) , kaum pendatang - berkonflik dengan pemerintah
pusat
RI. Hanya segelintir orang Aceh yang
betul-betul secara jiwa raganya menjadi alat jinak pemerintah RI,
menindas dan memperlakukan rakyat Aceh secara sewenang-wenang, itulah
yang
dapat dikategorikan sebagai musuh rakyat. Namun, kepada mereka juga
harus
diperlakukan secara hukum yang adil da n berbeda-beda. Ini merupakan
syarat yang memungkinkan mempersatukan seluruh bangsa Aceh dalam
front
perjuangan yang luas. Demi menggalang front itu untuk menghadapi
musuh
bersama, maka konflik yang tidak pokok seperti antara kaum buruh
dengan
majikan, h arus dapat dikebawahkan.


Pada bulan Maret yang lalu, kaum buruh pengangkutan di Aceh telah
melancarkan mogok menentang pemerasan oleh TNI/Polri terhadap para
supir.
Pemilik kendaraan bermotor, majikan para para supir memihak kepada
buruh
pengangkutan, karena kepentingannya sama,
sama-sama dirugikan oleh aparat RI. Aksi ekonomi ini punya arti
politik
sebagai bagian dari perlawanan terhadap aparat RI sekaligus bagian
dari
perjuangan nasional Aceh menentang kekuatan RI.


Segi pokok konflik itu adalah pemerintah Jakarta. Selama ini
pemerintah
Jakarta tidak mau mendalami sebab pokok konflik itu. Mereka hanya
menjalankan kemauannya sendiri menurut kehendak dan falsafah
feodalisme
Jawa, ambisi neo-imperium Mojopahit. Sebuah kekuasaan feodal,
otoriter dan
militerisme tidak mau peduli akan suara dan tuntutan adil rakyat yang
dikuasainya. Tidak ada hati nurani jujur dan ilmiah untuk
mempelajari,
meriset dan menghimpun pendapat massa rakyat Aceh, agar mereka tahu
sebab-musabab timbul perlawanan rakyat Aceh terhadap rezim Jakarta.
Tidak
mereka cari akar masalah. Sebagai contoh mereka mendeklarasikan
pelaksanaan syariah Islam. Padahal bukan itu penyebab konflik pokok.
Teungku Daud Beureu_h sudah pernah merinci dengan baik syaria h
Islam.
Kandungannya bukan hanya soal agama, melainkan juga politik, ekonomi,
sosial, budaya, adat-istiadat.


Rezim RI memberi berbagai janji, tetapi tidak ditepatinya. RUU NAD
(Rencana Undang-undang Nanggroe Aceh Darussalam) yang diserahkan oleh
Prof. Dr. Syamsuddin Mahmud kepada parlemen RI ketika beliau masih
menjabat Gubernur Aceh, sampai sekarang tak tentu j untrungannya.
Soal
bagi hasil pendapatan minyak dan gas di Aceh, tak dilaksanakan
Jakarta.
Tuntutan Referendum yang demokratis, malah dituduh oleh TNI/Polri
sebagai
aksi makar. Aktivis SIRA ditangkap, diculik dan dibunuh secara gelap.
Koordinatornya, Muh ammad Nazar ditangkap dan dihukum. Sebaliknya,
pelanggaran HAM yang dilakukan TNI/Ponri dibiarkan terus tanpa
diadili dan
dihukum. Jenderal-jenderal TNI pengendali pelanggaran HAM tak diutik-
utik.
Tidak ada usaha sistematis, tekun dan ilmiah dari pihak RI
untuk menyelesaikan konflik Aceh secara demokratis dan damai,
kecuali
dengan kekerasan senjata. Dialog yang telah berjalan dengan
didampingi
mediator internasional (Henry Dunant Centre), bukan ditingkatkan
dengan
menyertakan wakil-wakil rakyat Aceh yang bulat bersama wakil ASNLF
yang
dibentuk oleh Hasan di Tiro, malah pemerintah RI mengeluarkan dekrit
yang
disebut INPRES Nomor 4 Tahun 2001 sebagai payung pelindung puluhan
ribu
pasukan TNI (AD, AL, AU) dari berbagai jenis grup tempur dengan tugas
melakuk an operasi gabungan untuk menghancurkan Aceh. Keputusan yang
sangat militerisme itu, akan menghancurkan Aceh seperti menghancurkan
secara menyeluruh dan melakukan pembunuhan massal di Timor Timur pada
masa
menjelang pelaksanaan referendum untuk merdeka .


Tindakan rezim Jakarta itu merupakan cara penyelesaian konflik Aceh
secara
antagonisme. Berarti penghancuran lawan secara nonhumanisme, secara
nondemokratis dan secara fasisme. Dengan begitu sudah jelas, rakyat
Aceh
tidak lagi termasuk dalam perlindungan hukum RI. Ini pertanda
Pancasila
hanya jadi bahan bualan untuk mempersolek diri seolah-olah rezim
Jakarta
serta TNI/Polri-nya berjiwa manusia. Tindakan rezim Jakarta itu juga
merupakan pengabsahan kepada bangsa Aceh sebagai nasion di luar NKRI.
Dengan In pres Nomor 4 Tahun 2001 itu, pemerintah RI telah menabalkan
dirinya sebagai musuh rakyat Aceh. Berarti konflik Aceh dengan
pemerintah
RI merupakan konflik nasional, konflik antara bangsa Aceh dengan
rezim
Jakarta.


Arah bagi Aceh


Menghadapi keadaan yang diciptakan oleh rezim Jakarta atas Aceh, maka
rakyat Aceh terpanggil untuk bersatu padu menghadapinya. Dengan
persatuan,
GAM-AGAM dan seluruh komponen masyarakat Aceh, dapat kiranya bangsa
Aceh
membuat suatu program strategis dan t aktis bersama untuk menghadapi
keputusan brutal RI atas Aceh. Dengan menyisihkan perbedaan yang
dapat
merintangi tujuan strategis bagi penentuan nasib diri sendiri ,
bangsa
Aceh maju bersama-sama dalam satu front yang kukuh. Bersama-sama
mengadakan ber bagai aksi di Aceh dan di luar Aceh menentang operasi
militer RI. Bersama-sama memperluas opini umum dunia tentang
kejahatan
TNI/Polri atas rakyat Aceh. Menghimpun setiakawan rakyat
internasional
untuk Aceh. Menghimbau PBB agar mengirimkan ke Aceh penel iti dan
pengumpul fakta pelanggaran HAM oleh TNI/Polri. Seluruh komponen Aceh
termasuk anggota DPRD dan pejabat eksekutif tidak seharusnya kendor
mengajukan tuntutan adil dan obyektif rakyat Aceh di bidang politik,
ekonomi, hukum, sosial kepada pemerintah
RI. Menuntut penyelesaian konflik Aceh secara demokratis dan damai
melalui dialog. Referendum Aceh merupakan tuntutan demokratis rakyat
Aceh
dan sebagai hak suatu bangsa dalam perjuangan menentukan nasibnya dan
masa
depan negerinya.
Konflik Sebagai Hambatan Demokrasi


Perubahan politik di Indonesia tidak berlari di jalan tol demokrasi yang mulus. Disana-sini terdapat lubang-lubang demokrasi yang setiap saat mobil bangsa Indonesia terperosok ke dalamnya. Salah satu adalah apa yang disebut Antony Giddens sebagai paradoks demokrasi. Menurutnya, paradoks demokrasi adalah bahwa demokrasi menyebar ke seluruh dunia, namun dinegara-negara yang demokrasinya telah matang, yang seharusnya ditiru oleh mereka di belahan dunia yang lain, muncul kekecewaan yang meluas terhadap proses demokratis. Buktinya di sebagian negara barat, tingkat kepercayaan pada para politisi merosot selama beberapa tahun terakhir.Antony Giddens memberikan contoh Amerika Serikat dimana partisipasi untuk menggunakan hak pilihnya lebih sedikit.


Tingkat kepercayaan pada para politisi di Indonesia sudah lama dipertanyakan masyarakat. Ekpresi rakyat dalam bentuk berbagai protes, demonstrasi maupun yang bersifat ilmiah tidak-hentinya ditujukan kepada para politisi. Terakhir masalah yang menuai protes yang keras adalah keluarnya PP 37 yang menurut sebagian besar masyarakat mencerminkan ketidakadilan dan ketidakpantasan. Dan terbukti memang PP tersebut direvisi kembali oleh pemerintah.

Di Indonesia paradoks demokrasi juga dapat kita jumpai dalam bentuk lain. Bagi sebagian kepala daerah yang dipilih secara langsung dan demokratis ternyata tidak serta merta mendapat simpati yang penuh rakyat. Bahkan konflik politik yang terjadi pada saat pilkada dibawa serta setelah pilkada. Inilah yang akhirnya yang tidak jarang menimbulkan konflik komunal di tengah masyarakat.

Dalam pengamatan David Bloomfield dan Ben Reilly, dalam tahun-tahun terakhir ini jenis konflik baru semakin mengemuka: konflik yang terjadi di dalam wilayah negara, atau konflik dalam negara, dalam bentuk perang saudara, pemberontakan bersenjata, gerakan separatis dengan kekerasan, dan peperangan domestik lainnya.

Dua elemen kuat yang seringkali bergabung dalam konflik seperti ini. Yang pertama adalah identitas: mobilisasi orang dalam bentuk-bentuk identitas komunal yang berdasarkan agama, ras, kultur, bahasa dan seterusnya. Yang kedua adalah distribusi: cara untuk membagi sumberdaya ekonomi, sosial dan politik dalam sebuah masyarakat. Ketika distibusi yang dianggap tidak adil dilihat bertepatan dengan perbedaan identitas (dimana mialnya suatu kelompok agama kekurangan sumberdaya tertentu yang didapat kelompok lain), kita menemukan potensi konflik.

Bagaimanapun konflik yang terjadi jelas tidak menguntungkan bagi perkembangan demokrasi Indonesia. Jika ada konflik pastilah timbul ketidaktaturan politik dan sosial. Oleh karena itu mudah kita memahami bahwa demi kepentingan bersama dalam negara demokrasi maka potensi konflik harus dicegah sedini mungkin.

Namun demikian ada harapan yang memberikan optimisme yakni, trend umum yang terjadi adalah semakin diterimanya sistim demokrasi oleh masyarakat kita. Hal ini ditunjukkan oleh semakin luasnya partisipasi demokrasi rakyat. Semakin luasnya demokratisasi yang tiba-tiba ini, memberikan fokus baru mengenai institusi manakah yang paling mungkin mempertahankan pemerintahan demokratis yang stabil dan diakui dalam masyarakat yang terpecah belah pasca konflik. Terdapat pengakuan yang makin luas bahwa perencanaan institusi politik merupakan faktor kunci yang mempengaruhi konsolidasi, stabitas dan keberlangsungan demokrasi. Pemahaman yang baik mengenai institusi politik juga memberikan kemungkinan bahwa kita bisa merencanakan institusi sedemikian rupa hingga tujuan yang diinginkan, kerjasama dan kompromi dapat tercapai.

Lebih jauh lagi, berdasarkan pengalaman pada masyarakat-masyarakat yang terpecah-belah hingga kini menunjukkan gejala kuat bahwa prosedur demokratik, memiliki sikap keterbukaan dan fleksibilitas yang diperlukan untuk mengelola konflik mendalam yang berdasar identitas (agama, suku, budaya, keyakinan, ideologi, dll), memiliki peluang sangat besar untuk menghasilkan perdamaian yang berkesinambungan. Pada masyarakat yang terpecah belah atas garis identitas, misalnya institusi politik yang melindungi hak-hak individual dan kelompok, menyerahkan kekuasaan dan memberikan tawar-menawar politik, hanya mungkin tampak dalam kerangka demokrasi.

Justru karena itu, barrier Indonesia menuju bangsa demokratis yang tertib adalah bagaimana mengelola konflik sehingga tidak menimbulkan sebuah realitas yang paradoksal dengan demokrasi itu sendiri. Kita harus menyadari bahwa memang konflik adalah keniscayaan. Konflik adalah aspek intrisik dan tidak mungkin dihindarkan dalam perubahan sosial. Konflik adalah ekspresi heterogenitas kepentingan, nilai dan keyakinan yang muncul akibat formasi baru yang ditimbulkan oleh perubahan sosial. Ketika sebuah tatanan sosial baru terbentuk sementara tatanan yang lama masih eksis maka akan terjadi benturan baik pada domain struktural maupun struktural. Masalahnya adalah bagaimana cara kita dalam menangani konflik tersebut agar ia tidak menimbulkan sebuah destruksi sosial yang hebat.

Pemerintah Indonesia sebenarnya telah melakukan langkah-langkah nyata dalam menangani daerah-daerah yang dilanda konflik. Konflik Aceh praktis telah selesai. Poso, Ambon, Sambas juga praktis telah berhasil menghentikan konflik komunal. Namun model antisipasi konflik yang mungkin terjadi sebagai blue print pembangunan nasional belum ada konsep secara konprehensip dan integratif. Pada hal pencegahan secara dini mutlak diperlukan sebagai cara yang paling efektif untuk tidak berkonflik. Penanganan pasca konflik juga masih dirasakan realisasinya belum optimal. Inilah yang menyebabkan bila terjadi konflik komunal yang bersifat mengakar sulit untuk dihentikan secara cepat.

Sejatinya ada dua strategi yang harus dimatangkan terhadap pencegahan konflik di Indonesia. Pertama adalah strategi kultural dan kedua struktural. Strategi kultural akan efekftif dalam dalam jangka panjang. Hal ini karena yang menjadi fokusnya adalah relasi budaya yang pluralis yang benar-benar matang dan subtantif memerlukan waktu yang panjang. Tetapi jika kita melihat efektivitas pencegahan konflik dalam jangka pendek maka sesungguhnya strategi struktural merupakan pencegahan yang paling efektif di dunia, karena kekerasan acapkali disulut oleh ketidakadilan yang disebabkan oleh ketimpangan sosial dan ekonomi.

Karena itu pencegahan konflik yang luas harus menghindari kegagalan ekonomi, ketidakjujuran politik, masyarakat yang terbelah, dan kerusakan lingkungan. Bila kita melihat sebab-sebab konflik di Indonesia memang tidak terlepas dari faktor-faktor tersebut. Dan biasanya ekskalasinya semakin luas bila ditiupkan sentimen agama, keyakinan, suku,dan ras.
Faktor penyebab konflik
Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan.


Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di lingkungan pemukiman, tentu perasaan setiap warganya akan berbeda-beda. Ada yang merasa terganggu karena berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur.
Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda.

Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik.
Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok.

Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda. Sebagai contoh, misalnya perbedaan kepentingan dalam hal pemanfaatan hutan. Para tokoh masyarakat menanggap hutan sebagai kekayaan budaya yang menjadi bagian dari kebudayaan mereka sehingga harus dijaga dan tidak boleh ditebang. Para petani menbang pohon-pohon karena dianggap sebagai penghalang bagi mereka untuk membuat kebun atau ladang. Bagi para pengusaha kayu, pohon-pohon ditebang dan kemudian kayunya diekspor guna mendapatkan uang dan membuka pekerjaan. Sedangkan bagi pecinta lingkungan, hutan adalah bagian dari lingkungan sehingga harus dilestarikan. Di sini jelas terlihat ada perbedaan kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya sehingga akan mendatangkan konflik sosial di masyarakat. Konflik akibat perbedaan kepentingan ini dapat pula menyangkut bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Begitu pula dapat terjadi antar kelompok atau antara kelompok dengan individu, misalnya konflik antara kelompok buruh dengan pengusaha yang terjadi karena perbedaan kepentingan di antara keduanya. Para buruh menginginkan upah yang memadai, sedangkan pengusaha menginginkan pendapatan yang besar untuk dinikmati sendiri dan memperbesar bidang serta volume usaha mereka.
Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.

Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Nilai-nilai yang berubah itu seperti nilai kegotongroyongan berganti menjadi nilai kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya. Hubungan kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara cepat atau mendadak, akan membuat kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehiodupan masyarakat yang telah ada.


Jenis-jenis konflik

Menurut Dahrendorf, konflik dibedakan menjadi 4 macam :
konflik antara atau dalam peran sosial (intrapribadi), misalnya antara peranan-peranan dalam keluarga atau profesi (konflik peran (role))
konflik antara kelompok-kelompok sosial (antar keluarga, antar gank).
konflik kelompok terorganisir dan tidak terorganisir (polisi melawan massa).
konflik antar satuan nasional (kampanye, perang saudara).


Akibat konflik

Hasil dari sebuah konflik adalah sebagai berikut :
meningkatkan solidaritas sesama anggota kelompok (ingroup) yang mengalami konflik dengan kelompok lain.
keretakan hubungan antar kelompok yang bertikai.
perubahan kepribadian pada individu, misalnya timbulnya rasa dendam, benci, saling curiga dll.
kerusakan harta benda dan hilangnya jiwa manusia.
dominasi bahkan penaklukan salah satu pihak yang terlibat dalam konflik.

Para pakar teori telah mengklaim bahwa pihak-pihak yang berkonflik dapat memghasilkan respon terhadap konflik menurut sebuah skema dua-dimensi; pengertian terhadap hasil tujuan kita dan pengertian terhadap hasil tujuan pihak lainnya. Skema ini akan menghasilkan hipotesa sebagai berikut:
Pengertian yang tinggi untuk hasil kedua belah pihak akan menghasilkan percobaan untuk mencari jalan keluar yang terbaik.
Pengertian yang tinggi untuk hasil kita sendiri hanya akan menghasilkan percobaan untuk "memenangkan" konflik.
Pengertian yang tinggi untuk hasil pihak lain hanya akan menghasilkan percobaan yang memberikan "kemenangan" konflik bagi pihak tersebut.
Tiada pengertian untuk kedua belah pihak akan menghasilkan percobaan untuk menghindari konflik
PELANGGARAN HAM, KONFLIK SOSIAL& USAHA-USAHA PENYELESAIANNYA,DI PROPINSI ACEH 1)


I. PENDAHULUAN

A. PEMBERLAKUAN ACEH SEBAGAI DAERAH OPERASI MILITER.

Sejak diberlakukan Daerah Operasi Militer (DOM) tahun 1989-1998 di Propinsi Daerah Istimewa Aceh setidaknya terjadi 7.727 kasus pelanggaran HAM (sumber: Forum Peduli HAM). Penerapan status DOM di Aceh tersebut merupakan puncak dari represi pemerintah RI untuk melangsungkan dan menjaga kepentingannya di Aceh. Keuntungan pemerintah pusat sekitar 33 Trilyun pertahun dari hasil bumi Aceh tersebut bukanlah jumlah yang sedikit, apalagi dibandingkan dengan pengembaliannya sebesar 1 persen (kira-kira 600 Milyar pertahun ke Aceh). Pada saat itu pemerintah mengkampanyekan pentingnya memberantas Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) untuk menjaga keamanan masyarakat, namun disisi lain konflik-konflik tersebut sengaja dibangun sekaligus dipertahankan untuk melegitimasi tindakan-tindakan represif yang bertujuan menjaga kepentingan-kepentingan bisnis pemerintah pusat.

Dengan terus menerus menciptakan isu-isu GPK dan berlanjut dengan diadakannya operasi-operasi militer merupakan shock therapy untuk mematikan keberanian rakyat Aceh untuk melakukan koreksi, kritik atau upaya-upaya yang lainnya untuk menuntut hak-hak meraka baik dibidang ekonomi, sosial maupun di sektor politik. Dengan situasi seperti ini militer jelas mendapat keuntungan secara financial, mereka mempunyai hak untuk menekan perusahaan-perusaaan besar yang ada di Aceh agar memberikan semacam dana untuk jaminan keamanan. Sudah barang tentu jumlah "dana jaminan" tersebut tidak sedikit.

Militer selalu menggelar sweeping ke Kampung-kampung di Kabupaten Aceh Timur, Aceh Utara dan Pidie dengan dalih untuk mencari anggota GPK. Disaat itu pula masyarakat di dera ketakutan, karena tak jarang tanpa alasan yang jelas mereka yang di culik, dipukuli, disiksa bahkan dibunuh di depan masyarakat yang lain. Dari fenomena seperti inilah kejahatan-kejahatan kemanusiaan baik dalam skala kecil hingga besar tumbuh subur di bumi Aceh. Hal ini merupakan awal dari terjadi pelanggaran-pelanggaran HAM di Aceh.

_____________
B. PASCA DOM

Setelah Presiden B.J.Habibie mencabut status Daerah Operasi Militer di Aceh tanggal 7 Agustus 1998 ternyata tidak memiliki perubahan yang berarti. Dalam kenyataanya Pelanggaran HAM pasca pemberlakuan DOM justru lebih berat baik dalam kualitas maupun kuantitasnya. Ironisnya hal itu berlaku sampai sekarang. Pada eskalasi tertentu terlihat upaya-upaya pemerintah untuk mengatasi persoalan pelanggaran HAM dan penyelesaian konflik. Namun di hal yang lain, karena upaya penyelesaian yang dilakukan oleh pemerintah lamban dan terkesan tidak serius, maka pada perkembangan berikutnya perubahan peningkatan konflik yang terjadi bukan saja pergeseran isu dan tuntutannya, tetapi juga dibarengi dengan pergeseran pola dan fase-fase kekerasan yang digunakan oleh aktor dan pihak-pihak terutama yang terlibat langsung dalam konflik.

Sulitnya meminta keadilan dari pemerintah membuat rakyat Aceh banyak melakukan protes dan pembakangan. Namun jarang sekali protes-protes tersebut didengarkan sehingga kondisi semakin memburuk. Ditengah kondisi seperti ini, terjadi beberapa peristiwa yang membawa pengaruh buruk bagi masyarakat diantaranya:
Mogok Massal dan Transportasi

Aksi mogok pertama-tama terjadi pada saat menjelang pemilu, Juni 1999 sehubungan dengan isu boikot pemilu yang dimotori oleh mahasiswa dan NGO. Pada saat ini proses mogok terorganisir dengan baik. Banyak masyarakat yang mendukung dan terlibat dalam proses ini untuk menunjukkan pada pemerintah Indonesia bahwa rakyat Aceh butuh keadilan atas dosa-dosa politik dari pemerintah. Mogok ini berlangsung selama beberapa hari dan efeknya sangat terasa. Pasar-pasar tutup, angkutan tidak beroperasi dan tidak ada seorang pun yang keluar rumah.

Selanjutnya setelah kesuksesan yang pertama, yang menyedihkan sekelompok orang mulai menggunakan isu mogok ini untuk kepentingannya, misalnya di pakai sebagai alat untuk menunjukkan kekuasan, alat teror dan kepentingan ekonomi. Isu-isu yang disebarkan menyebabkan rakyat resah dan kebingungan. Akibat isu mogok yang berkembang semakin meluas dan dilansir oleh media massa, masyarakat khawatir kekurangan pangan sehingga berbondong-bondong memborong sembako. Hal ini langsung berpengaruh kepada melonjaknya harga barang. Banyak di antara masyarakat yang tidak tahu alasan dan siapa yang menyuruh mogok, tetapi karena khawatir menjadi sasaran kekerasan dari berbagai pihak, akhirnya memutuskan untuk tidak keluar dari rumah, termasuk pergi ketempat kerja, anak-anak tidak bersekolah dan pasar tutup. Akhirnya mogok menjadi hal yang juga meresahkan rakyat.

Dilain hal, mogok masih menjadi cara rakyat Aceh untuk protes atau menentukan sikap. Contohnya pemogokan supir truk akibat pungli aparat di jalan sepanjang Medan-Banda Aceh yang dalam tahun ini saja berlangsung dua kali. Mereka baru melakukan aktivitasnya ketika ada jaminan dari Kapolda bahwa tidak akan ada pungli. Pemogokan supir truk ini menyebabkan harga barang dan pangan melambung serta kekurangan stok. Beberapa tempat malahan masyarakat mulai kelaparan, seperti di Geumpang, Kecamatan Pidie Selain itu stok oksigen untuk rumah sakit habis dan sangat membahayakan kondisi pasien yang membutuhkan bantuan oksigen, gas untuk memasak langka, proses pengorganisasian untuk basis yang dilakukan oleh Flower dan NGO lain terhenti, bantuan untuk pengungsi terhambat serta banyak keluhan lainnya.
Pengungsian (IDP,s)

Pengungsian pertama sekali terjadi setelah DOM dicabut, yaitu tanggal 27 Pebruary 1999 karena ada kekerasan yang dilakukan aparat militer sewaktu melakukan sweeping di desa (Pidie). Jumlah pengungsi mengalami fluktuasi dan sangat tergantung dengan kondisi keamanan. Jumlah terbanyak adalah sekitar 250.000 s/d 300.000 orang yang terjadi pada bulan Juni s/d Agustus 1999. Penyebab terjadinya pengungsian ada beberapa hal, semakin keruhnya konflik, alasan pengungsianpun lebih berkembang dan modus pengungsiannya juga makin beragam (Sumber: RPUK), diantaranya:
Penyisiran oleh aparat TNI/Polri. Ketika aparat keamanan melakukan penyisiran ke Desa-desa dengan alasan mencari anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) atau anggota mereka yang hilang, sering sekali melakukan tindakan yang sangat arogan terhadap masyarakat sipil. Dalam penyisiran tersebut, tidak jarang mereka terlibat kontak senjata dengan GAM. Paska kontak senjata aparat selalu melakukan tindakan yang sangat brutal seperti tembakan yang tidak terarah yang melukai dan menewaskan masyarakat.
Pembakaran rumah oleh aparat TNI/Polri dan GAM. GAM dalam beberapa kasus juga melakukan penyerangan terhadap aparat keamanan di sekitar perkampungan penduduk atau pusat pasar. Aparat keamanan biasanya langsung membalas serangan tersebut kepada masyarakat sekitar seperti membakar rumah dan pertokoan. Contoh: kasus pembakaran 96 rumah penduduk di Juli, Bireuen, 167 toko milik masyarakat di Lhokseukon dan lainnya. Diperumahan transmigrasi yang didominasi oleh suku Jawa, GAM juga membakar rumah-rumah dan memaksa mereka pergi. Umumnya mereka mengungsi meninggalkan Aceh untuk pergi ke daerah-daerah lain yaang mereka anggap aman.
Dipaksa Mengungsi oleh Pihak GAM.
Dalam beberapa kasus masyarakat meninggalkan tempat kediamannya karena diminta dan kadangkala dipaksa oleh pihak GAM dengan alasan bahwa aparat keamanan akan masuk ke Desa untuk melakukan penyerangan terhadap GAM dan masyarakat pasti akan terkena imbasnya. Tidak jarang masyarakat juga dijadikan komuditas politik untuk melakukan tawar-menawar diantara pihak-pihak yang bertikai. Hal terjadi di Kecamatan Tanah Luas Aceh Utara yang mengungsi ke Exxon Mobil Oil, pada bulan Juli 2000, Julok Aceh Timur dan Jagong Jeged Aceh Tengah.
Intimidasi dan Teror.
Dalam beberapa kasus, intimidasi san teror yang dihadapai masyarakat, baik dari aparat polisi/TNI maupun dari pihak GAM, menjadi alasan bagi masyarakat untuk melakukan eksodus. Hal ini terjadi dalam kasus pengungsi Mbang, Aceh Utara dan beberpa kasus di Aceh Tengah dan Aceh Timur.
Eskalasi kekerasan Meningkat

Kekerasan sudah menjadi menu sehari-hari di Aceh. Semua koran yang menulis berita Aceh penuh dengan berita-berita pelanggaran HAM ataupun kekerasan. Terkadang kekerasan bukan hanya dilakukan pihak RI dengan TNI/Polrinya atau GAM, melainkan juga pihak yang selalu disalahkan untuk melemparkan tanggungjawab dari masing-masing pihak dengan penyebutan Orang Tak Dikenal (OTK).

Selain itu, kekerasan terhadap perempuan tetap terjadi, perkosaan massal terhadap perempuan di Matangkuli merupakan salah satu dari contoh kasus lainnyanya. Baik pihak TNI maupun GAM menolak mengaku terlibat dalam kasus tersebut. Sedangkan saksi menyatakan bahwa pelakunya terdiri dari satu kelompok laki-laki yang berseragam loreng dan bersenjata lengkap.

Dari berbagai kasus yang terjadi, ternyata kekerasan di Aceh bukan hanya menimpa rakyat kecil di desa yang terpencil dan jauh dari akses informasi, namun juga menimpa petugas kemanusiaan, aktifis dan tokoh-tokoh masyarakat serta ulama. Pembunuhan Dokter Fauziah, Teungku Nashruddin anggota DPR RI, Jaffar Sidiq dari International Forum for Aceh, relawan RATA, Safwan Idris Rektor IAIN, Teungku Kamal (anggota tim Jeda Kemanusiaan) dan Suprin Sulaiman (pengacara), serta baru-baru ini Mayor Jendral HT Johan (anggota MPR Utusan daerah, Ketua Partai golkar dan mantan Wagub Aceh), memenuhi daftar kematian yang penuh misteri. Dan sampai saat ini pelaku belum terungkap.
Ekonomi Hancur

Kondisi Aceh yang porak poranda membawa pengaruh buruk bagi perekonomian. Hancurnya berbagai sumber ekonomi penduduk karena pembakaran, pengrusakan ataupun gagal panen karena mengungsi menyebabkan daya beli di masyarakat menurun drastis. Pasar sering sepi tanpa traksaksi. Menurunnya daya beli diringi pula dengan tidak tersedianya beberapa kebutuhan tambahan. Banyak pedagang yang tidak berani mendatangkan barang karena terlalu riskan untuk berspekulasi dengan situasi keamanan yang tidak stabil. Kondisi ini mengakibatkan perputaran keuangan di Aceh berjalan lambat.

Tutupnya berbagai sarana vital di Aceh Utara seperti Exxon Mobil, PT PIM dan pabrik-pabrik raksasa yang selama ini memberi keuntungan bagi Indonesia semakin memperburuk kondisi perekonomian Aceh. Berhentinya produksi diikuti dengan pindahnya sebagian besar karyawan proyek vital tersebut keluar Aceh menyebabkan transaksi di pasar Aceh Utara yang selama ini didominasi oleh mereka menjadi sepi. Selain itu beberapa karyawan proyek vital tersebut juga harus kehilangan pekerjaan karena perusahaan sendiri tidak bisa memastikan kapan akan beroperasi kembali ditengah suasana yang tidak kondusif sekarang ini.

Ketiadaan barang diikuti dengan meningkatnya harga yang membuat masyarakat semakin resah karena kemampuan untuk membeli justru menurun drastis. Ancaman hidup dalam kemiskinan semakin mendekati kehidupan sebahagian besar masyarakat Aceh khususnya yang tinggal di wilayah konflik.
Lumpuhnya Hukum dan Pemerintahan.

Hukum yang selama ini menjadi tumpuan harapan rakyat menjadi lumpuh. Banyak hakim atau jaksa yang minggat dari Aceh dengan alasan demi keamanan. Hampir semua pelaku pelanggaran lolos dari jeratan hukum. Bahkan didaerah konflik para pelaku kejahatan merasa bebas untuk melakukan segala macam jenis kejahatan karena mereka yakin hukum tak akan menjerat mereka. Hal ini disebabkan lembaga-lembaga hukum tidak berjalan seperti biasa. Kantor-kantor pengadilan (baca: di daerah sarat konflik) di tutup, bahkan beberapa diantaranya dibakar, atau isinya di jarah. Akibatnya pengadilan dilakukan secara jalanan. Bila pembuat kejahatan tertangkap maka akan diadili dengan cara main hakim sendiri. Polisi dan penegak hukum membuat pengadilan sendiri. GAM juga ikut membuat pengadilan dengan caranya sendiri. Beberapa kasus akhirnya masyarakat juga membuat pengadilan sendiri. Hal ini juga semakin melegitimasi terjadinya proses impunity di Aceh.

Lembaga Pemerintahanpun tak luput dari kelumpuhan. Hampir disetiap instansi Pemerintahan mendapat acaman-ancaman baik secara langsung maupun tak langsung. Hal ini berakibat fatal karena insan pemerintahan merasa ketakutan sehingga tidak dapat menjalankan tugas-tugas pemerintahan yang menjadi tanggung jawabnya. Belum lagi pembakaran dan pengrusakan kantor pemerintahan yang semakin marak membuat ketakutan dan rasa was-was aparatur pemerintahan semakin besar. Mereka juga beralasan bahwa tidak adanya ketentraman lagi jika berada di kantor untuk bekerja. Sehingga ada beberapa tempat yang aktifitas pemerintahan terganggu atau terhenti.
Politik Bumi Hangus

Politik bumi hangus menjadi cara kedua belah pihak untuk unjuk kekuatan dan menghilangkan barang bukti. Pembakaran rumah-rumah saat ini marak sebagai ekses dari kontak senjata atau penyisiran. Pemberondongan yang dilakukan terhadap aparat di jalan biasanya akan dibalas dengan pembakaran yang dilakukan terhadap rumah-rumah penduduk di sekitar lokasi kejadian. Namun juga tidak jarang beberapa penduduk harus kehilangan rumahnya tanpa tahu apa yang menjadi penyebab serta siapa pelakunya. Terkadang cara membakar digunakan juga untuk menduduki suatu wilayah tertentu. Sejak periode 1 Mei 1999 s/d 10 Juni 2001, ada 3.957 unit rumah yang terbakar di Aceh, dengan jumlah perincian: 2 dari Banda Aceh, 108 Aceh Besar, 746 Pidie, 500 Bireuen, 736 Aceh Utara, 948 Aceh Timur, 365 Aceh Tengah, 248 Aceh Barat dan 304 Aceh Selatan (Sumber FP. HAM). Selain itu ada ratusan sekolah dan gedung-gedung pemerintah yang juga di bakar. Pembakaran sekolah tersebut berimplikasi langsung kepada mundurnya sistem pendidikan di Aceh. Saat ini lebih dari 350.000 anak tidak lagi bersekolah (Sumber: Yayasan Anak Bangsa).


II. UPAYA PENYELESAIAN:
Pemerintah

Paska DOM, ada beberapa hal yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam upaya untuk menyelesaikan persoalan Aceh. Banyak cara yang dilakukan, namun masyarakat menganggap bahwa upaya yang dilakukan pemerintah itu masih setengah hati dan bersifat lips servis saja. Beberapa upaya tersebut diantaranya adalah:
Syariat Islam

Pada masa Pemerintahan Soekarno, pemberontakan yang pernah dilakukan rakyat Aceh (Pemberontakan DI/TII) diselesaikan lewat cara dialog. Presiden Sukarno saat itu memahami apa yang diinginkan oleh rakyat Aceh, dan penyelesaian yang diberikan saat itu adalah status istimewa (dalam bidang Agama, Pendidikan dan Adat Istiadat) untuk daerah Aceh. Hal tersebut disambut hangat oleh segenap lapisan masyarakat. Namun pemberian status tanpa dilanjuti dengan implementasi ternyata menjadi faktor pendukung untuk pemberontakan selanjutnya yang terjadi sampai saat ini. Rakyat Aceh merasa diingkari dan dikecewakan. Pemerintahan Suharto menjawab kekecewaan itu dengan berbagai Operasi Militer.

Pada masa kepemimpinan presiden Habibie, Pemerintah mencoba mengangkat kembali persoalan status daerah istimewa ini lewat pendekatan Syariat Islam. Berbagai reaksi dari masyarakat muncul pada saat itu. Sebahagian besar menanggapi dengan kegembiraan yang berlebihan, sehingga banyak yang lupa Syariat Islam yang ditawarkan itu tanpa konsep yang jelas dan tidak menyentuh akar persoalan di Aceh.

Sementara itu, sebahagian kelompok masyarakat lainnya merespon Syariat Islam tersebut dengan menggelar berbagai razia (yang mengarah kepada kekerasan) terhadap perempuan-perempuan yang tidak menutup kepalanya. Syariat Islam yang dipahami saat itu adalah perempuan-perempuan yang menutup kepalanya dengan jilbab atau penggantian berbagai nama instansi dan perkantoran lainnya dengan bahasa Arab. Dalam masa ini tercatat banyak sekali kasus perempuan menjadi korban kekerasan dalam razia jilbab (di gunting rambut, digunting baju atau roknya, dilempar dengan tomat atau telur, kejar pakai tongkat, disorakin beramai-ramai di pasar) dan berbagai bentuk kekerasan lainnya.

Di bawah kepemimpinan Abdurrahman Wahid, Syariat Islam kembali ditawarkan sebagai solusi penyelesaian Aceh. Kali ini dengan dukungan legislatif lewat Draft Rancangan Undang-Undang nangroe Aceh Darussalam (RUU NAD) namun tampaknya Syariat Islam ini tidak akan memberikan penyelesaian untuk kasus Aceh yang sudah sedemikian kompleksnya.
Jeda Kemanusiaan , DMD

Meningkatnya kekerasan di Aceh yang tidak hanya menelan korban dari kalangan aparat TNI/POLRI dan GAM namun sebahagian besarnya adalah masyarakat sipil, telah menarik perhatian berbagai kalangan salah satunya Hendry Dunant Centre (HDC). Melalui kerja sama dengan Pemerintah disepakati suatu kegiatan untuk menghentikan sementara aksi-aksi kekerasan oleh kedua kelompok yang bertikai lewat pelaksanaan jeda kemanusiaan. Dibentuklah Tim yang terdiri dari perwakilan RI dan GAM untuk membicarakan upaya-upaya penyelesaian sengketa dan memantau berbagai aksi kekerasan yang dilakukan oleh kedua pihak di lapangan.

Jeda Kemanusiaan ini berlangsung sejak Juni s/d Agustus 2000, setelah berakhir masanya, program ini di evaluasi dan dilanjutkan kembali. Jeda yang semula diharapkan masyarakat bisa membantu menyelesaikan persoalan Aceh, ternyata tidak efektif. Perwakilan kedua belah pihak yang ada di dalam Tim tersebut hanya membicarakan kepentingan kedua belah pihak saja (tidak cukup jelas sejauh mana kepentingan masyarakat sipil menjadi komitmen keduanya), sementara dalam masa jeda setiap hari korban dari kalangan masyarakat sipil terus berjatuhan. Masyarakat diminta untuk melaporkan kekerasan yang mereka alami kepada Tim ini, namun Tim ini tidak pernah memikirkan keselamatan / jaminan keamanan bagi masyarakat (korban) setelah mereka melapor.

Jeda kemanusiaan akhirnya hanya bekerja untuk penyaluran bantuan dan merekomendasi berbagai lembaga yang ingin bekerja/menyalurkan bantuan untuk masyarakat. Itupun menimbulkan berbagai persoalan, karena Lembaga yang direkomendasi kriterianya bias dengan kepentingan masing-masing pihak. Setiap NGO yang mau ke desa harus mendapat surat dari Tim jeda, kalau tidak akan kesulitan dilapangan

Usai masa jeda kemanusiaan yang kemudian dilanjutkan dengan Moratorium yang berlangsung selama tiga bulan, fakta keamanan selama sebulan dan akhirnya Damai Melalui Dialog (DMD) hingga saat ini, belum ada hal yang signifikan yang sudah dicapai untuk penyelesaian kasus Aceh.
Rancangan Undang-Undang Nangroe Aceh Darussalam (RUU NAD)

RUU NAD ini lebih merupakan cara elit politik Aceh menafsirkan keinginan masyarakat Aceh. Ironisnya masyarakat sendiri khususnya di lapisan bawah tidak mengerti apa yang sebenarnya yang diinginkan elit Politik Aceh lewat RUU NAD ini. RUU NAD digodok di DPRD tingkat I dan kemudian dibawa ke pusat untuk diproses. RUU yang katanya yang katanya diperuntukkan bagi rakyat Aceh ini, dalam pembahasannya (dari tingkat daerah sendiri) hanya melibatkan segelintir orang dan tanpa sosialisasi ke masyarakat. Rancangan RUU ini pernah mandeg dan dikembalikan untuk digodok ulang di daerah. Sampai saat ini RUU NAD tersebut masih dalam pembahasan di Jakarta.
Inpres No. IV\2001.

Inpres ini dikeluarkan Abdurrahman Wahid untuk menyelesaikan masalah Aceh secara konprehensif. Ada enam langkah yang dijelaskan dalam Inpres tersebut diantaranya bidang ekonomi, sosial, hukum, pendidikan, keamanan dan bidang media. Namun diantara semuanya bidang keamananlah yang paling menonjol penanganannya. Beberapa hari setelah Inpres ditandatangani, ribuan aparat keamanan didatangkan ke Aceh. Operasi Keamanan dan Penegakan Hukum (OKPH) dilakukan dengan penuh perhitungan, demikian Sulaiman AB anggota KBMK Kuala Tripa menegaskan. Namun kenyataannya sampai dengan satu bulan setengah setelah Inpres no IV itu diterapkan untuk penegakan hukum dan keamanan, tidak ada satu kasuspun yang sampai kepengadilan, sementara 107 orang terbunuh, 176 orang cedera berat dan ringan, 135 orang di tangkap, 180 rumah di bakar serta 99 rumah di jarah (data: temu pers di Kuala tripa, Damai Melalui Dialog tanggal 15 Mei 2001). Jadi masyarakat menilai Inpres no. IV/2001 adalah sejarah yang berulang (Operasi militer).


B. Masyarakat sipil:

Masyarakat sipil pun mengadakan penguatan-penguatan untuk memulihkan keadaan Aceh. Penguatan itu sangat penting karena secara logika Aceh bukan hanya milik orang bersenjata melainkan milik rakyat sipil yang notabene lebih banyak jumlahnya. Penguatan itu dilakukan dalam bentuk:
Pengorganisasiaan Masyarakat

Pada dasarnya ada beberapa NGO yang mulai melakukan penggorganisasian terhadap masyarakat sipil sejak DOM masih berlangsung. Tetapi karena kondisis yang represif, pe3ngorganisasin berjalan dengan lambat. Namun dari proses pendampingan yang dilakukan secara terus menerus dan masa waktu yang panjang, akhirnya lahir beberapa organisasi di tingkat rakyat. SeIA (Serikat Inong Aceh), Permata (Perhimpunan Petani Aceh) dan Surkla (Serikat untuk Korban Lingkungan Aceh) adalah contoh wadah yang lahir dari pengorganisasian. Banyak hal positif yang didapat dari pengorganisasian, diantaranya rakyat akan lebih mengenal politik dan tahu cara menuntut hak mereka yang terampas, membangun kekuatan bersama, mengembangkan kembali budaya lokal yang tercerabut dan lainnya. Namun yang menjadi kendala masyarakat sipil ini selalu ditekan dan dijadikan sasaran kekerasan oleh pihak bertikai, dan belum memiliki posisi tawar yang cukup kuat menghadapi kedua belah pihak.
Kampanye

Kampanye adalah salah cara yang dipakai oleh NGO, mahasiswa, korban dan berbagai elemen lainnya untuk menyampaikan berbagai bentuk belanggaran HAM dan lainnya yang terjadi di Aceh, baik ke dalam maupun ke luar negeri. Hal ini penting, mengingat banyak fakta yang disembunyikan pemerintah dari mata dunia. Para aktivis Aceh melakukan kampanye secara terus menerus baik melalui media cetak maupun elektronik atau ikut serta dalam undangan tingkat internasional termasuk mengikuti sidang UN PBB. Lobby-lobby yang dilakukan para aktivis diharapkan bisa mendapat dukungan pihak negara luar untuk menyelesaikan masalah Aceh. Melihat pemerintah sulit untuk menyelesaikan masalah Aceh, maka para aktivis punya harapan dengan campur tangannya pihak luar masalah Aceh terselesaikan. Negara luar akan menekan pihak Indonesia untuk mengadili pelanggaran HAM sesuai dengan standar dan prosedur internasional untuk memberi keadilan terhadap rakyat Aceh.
Lobby di tingkat Kampung

Masyarakat semakin hari semakin sadar akan hak mereka sebagai warga negara. Mereka mengenal politik secara praktis berdasarkan pengalaman mereka tertindas selama ini. Tidak mengherankan bila kesadaran mereka berpolitik lebih bagus dari masyarakat yang bukan tinggal di Aceh. Proses pembelajaran itu berlangsung perlahan tapi pasti. Kalau dulu masyarakat melihat warganya ditangkap mereka akan ketakutan, namun sekarang tidak begitu lagi. Beramai-ramai mereka akan mendatangi kantor polisi meminta pelepasan warganya. Demikian juga kalau ada diantara warga yang diambil GAM, mereka juga melakukan hal yang sama. Masayarakat belajar untuk mensiasati untuk dapat hidup bertahan diantara dua kelompok yang bertikai dan berbagai kelompok lainnya yang mempunyai berbagai kepentingan.



Posisi Perempuan dalam Konflik.

Melihat keadaan Aceh yang semakin ruyam, kini jadi pertanyaan adalah dimanakah posisi perempuan? Melihat realita saat ini ada beberapa posisi yang sering dihadapi/perankan perempuan, diantaranya:
Sebagai Triple Korban.

Sebagai individu maupun komunitas yang paling rentan dan mengalami banyak kekerasan dan menerima dampak yang kerapkali secara tidak tunggal tapi multi sector secara bertingkat dan berlipat ganda maka perempuan dapat dikatakan sebagai triple korban. Sebagai triple korban perempuan mengalami kondisi dibiarkan (pembiaran) terhadap kekerasan dan penderitaan yang dialaminya, diisolasi dari kehidupan normal dan komunitasnya, dilebelkan sebagai partisan dari kedua pihak yang bertikai, dijadikan objec dan sasaran teror serta taktik perang, dipolitisir dengan dimobilisasi untuk dijadikan alat bergaining serta diekploitasi dengan menjadikan perempuan sebagai tameng dan pagar betis untuk kepentingan pihak lain.
Sebagai Survivor.

Perempuan memang seringkali merasakan dampak dari kekerasan terlebih dahulu dan mengalami dampak secara bersamaan. Situasi yang berubah drastik dan beban yang ditanggungnya seringkali membuat perempuan harus terpanggil dan tampil sebagai pengganti. Kondisi ini menunjukkan kefleksibelan dan daya adaptasi perempuan yang tinggi dalam menghadapi perubahan. Beradaptasinya perempuan dan berperannya perempuan sebagai penganti dan penanggung jawab menjadikan perempuan sebagai orang yang bisa bertahan dan sukses dalam pertahan tersebut.
Sebagai Pelayan

Peran yang diemban perempuan sebagai ibu, perawat dan pelindung terhadap anak dan keluarganya, membawa perempuan sebagai pelayan untuk mempertahankan dan melanjutkan kehidupan tersebut. Perempuan merasa terpanggil untuk meneruskan kehidupan. Keberlanjutan kehidupan ini mengusik perempuan untuk memberikan pelayanan kepada orang lain tidak hanya dalam keluarga tetapi juga kepada komunitas yang lebih jauh.
Sebagai Agent of Change

Perempuan sering terlebih dahulu mempunyai gagasan yang cukup cemerlang dan keberanian yang luar biasa. Gagasan dan inovasi perempuan membawa perubahan dalam komunitasnya. Pada saat orang lain terbenam dalam situasi konflik yang memojokkan kehidupan, justru pada saat itu sering perempuan menunjukkan gagasan cemerlangnya. Gagasan tersebut sering sekali timbul pada saat kelangsungan hidup dan regenerasi terancam.



III. USULAN/REKOMENDASI
Mediasi dan Negosiasi

Dilihat dari apa yang seharusnya ada dalam rekonsiliasi, perempuan sebagai kelompok yang diposisikan sebagai Triple Korban, Survisor, pelayan, dan agent of change mempunyai potensi sebagai mediator dan negosiator. Sebagai orang atau kelompok yang punya potensi seharusnya lebih banyak perempuan yang dilibatkan sebagai mediator dan negosiator. Kenyataannya seringkali peran tersebut dijalankan perempuan hanya sekedar basa-basi dan pelengkap penderita, yang kerapkali hanya memamerkan bahwa proses mediasi dan negosiasi tersebut sudah berperspektif gender. Padahal kenyataannya posisi dan peran yang dimainkan perempuan disana diarahkan sebagai pelengkap bukan sebagai pengambil keputusan sehingga warna mediasi dan negosiasi itu tidak menunjukkan sama sekali apa yang diinginkan oleh banyak perempuan yaitu kelangsungan hisup harus terus dipertahankan dan dilindungi secara tegas dan kekerasan harus dihentikan dengan segera.

Keinginan perempuan itu tergilas dengan keinginan dan keakuan pihak-pihak yang lebih menonjolkan maskulinitasnya sebagi pihak yang harus menang dan mendapat banyak pengakuan dan legitimasi.

Proses mediasi dan negosiasi ini seharusnya mengacu pada suatu formulasi yang menempatkan kepentingan masyarakat sipil yang sesungguhnya bukan pada kepentingan para pihak yang bertikai. Karena apabila dalam mediasi dan negosiasi seperti konflik Aceh semata-mata hanya berlandaskan pada kepentingan para pihak yang berkonflik tidak akan pernah tercapai apa yang namanya rekonsiliasi. Kepentingan masyarakat sipil yang bukan sebagai pihak bertikai merupakan regensia pengimbang, regensia pengimbang itu sesungguhnya perempuan.
Rekonsiliasi pada akar rumput

Pembangunan perdamaian pada akar rumput merupakan tahapan yang sangat menentukan dalam proses rekonsiliasi. Rekonsiliasi sesungguhnya dan permanen tidak akan terjadi bila pada akar rumput tidak terbangun proses tersebut. Perempuan sebagai kelompok terbanyak dari segi jumlah, kelompok yang palinh rentan, kelompok yang paling netral harusnya diberi ruang sebagai pemegang kunci dalam proses ini.

Pada kenyataanya rekonsiliasi akar rumput ini sudah dijalankan oleh perempuan-perempuan secara baik walaupun hanya pada lingkungan yang lebih kecil. Namun peran yang dimainkan perempuan seringkali tidak mendapat perhatian lebih besar apalagi mendapat peluang dan dukungan dan tidak dianggap strategis bahkan ada kecendrungan upaya-upaya pematahan yang sangat sistematis terhadap apa yang telah diperankan oleh perempuan.
Kerusuhan Atau Konflik Sosial


Kerusuhan atau Konflik Sosial adalah suatu kondisi dimana terjadi huru-hara/kerusuhan atau perang atau keadaan yang tidak aman di suatu daerah tertentu yang melibatkan lapisan masyarakat, golongan, suku, ataupun organisasi tertentu.



Indonesia sebagai negara kesatuan pada dasarnya dapat mengandung potensi kerawanan akibat keanekaragaman suku bangsa, bahasa, agama, ras dan etnis golongan, hal tersebut merupakan faktor yang berpengaruh terhadap potensi timbulnya konflik. Dengan semakin marak dan meluasnya konflik akhir-akhir ini, merupakan suatu pertanda menurunnya rasa nasionalisme di dalam masyarakat.



Kondisi seperti ini dapat terlihat dengan meningkatnya konflik yang bernuansa SARA, serta munculya gerakan-gerakan yang ingin memisahkan diri dari NKRI akibat dari ketidakpuasan dan perbedaan kepentingan. Apabila kondisi ini tidak dikelola dengan baik akhirnya akan berdampak pada disintegrasi bangsa. Permasalahan ini sangat kompleks sebagai akibat akumulasi permasalahan ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan keamanan yang saling tumpang tindih, apabila tidak cepat dilakukan tindakan-tindakan bijaksana untuk menanggulangi sampai pada akar permasalahannya maka akan menjadi problem yang berkepanjangan.



Kekhawatiran tentang perpecahan (disintegrasi) bangsa di tanah air dewasa ini yang dapat digambarkan sebagai penuh konflik dan pertikaian, gelombang reformasi yang tengah berjalan menimbulkan berbagai kecenderungan dan realitas baru. Segala hal yang terkait dengan Orde Baru termasuk format politik dan paradigmanya dihujat dan dibongkar. Bermunculan pula aliansi ideologi dan politik yang ditandai dengan menjamurnya partai-partai politik baru. Seiring dengan itu lahir sejumlah tuntutan daerah-daerah diluar Jawa agar mendapatkan otonomi yang lebih luas atau merdeka yang dengan sendirinya makin menambah problem, manakala diwarnai terjadinya konflik dan benturan antar etnik dengan segala permasalahannya.



Penyebab timbulnya disintegrasi bangsa juga dapat terjadi karena perlakuan yang tidak adil dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah khususnya pada daerah-daerah yang memiliki potensi sumber daya/kekayaan alamnya berlimpah/ berlebih, sehingga daerah tersebut mampu menyelenggarakan pemerintahan sendiri dengan tingkat kesejahteraan masyarakat yang tinggi.



Selain itu disintegrasi bangsa juga dipengaruhi oleh perkembangan politik dewasa ini. Dalam kehidupan politik sangat terasa adanya pengaruh dari statemen politik para elit maupun pimpinan nasional, yang sering mempengaruhi sendi-sendi kehidupan bangsa, sebagai akibat masih kentalnya bentuk-bentuk primodialisme sempit dari kelompok, golongan, kedaerahan bahkan agama. Hal ini menunjukkan bahwa para elit politik secara sadar maupun tidak sadar telah memprovokasi masyarakat. Keterbatasan tingkat intelektual sebagian besar masyarakat Indonesia sangat mudah terpengaruh oleh ucapan-ucapan para elitnya sehingga dengan mudah terpicu untuk bertindak yang menjurus ke arah terjadinya kerusuhan maupun konflik antar kelompok atau golongan.

Kebijakan Penanggulangan.

Adapun kebijakan yang diperlukan guna memperkukuh upaya integrasi nasional adalah sebagai berikut :

Membangun dan menghidupkan terus komitmen, kesadaran dan kehendak untuk bersatu.
Menciptakan kondisi yang mendukung komitmen, kesadaran dan kehendak untuk bersatu dan membiasakan diri untuk selalu membangun konsensus.
Membangun kelembagaan (Pranata) yang berakarkan nilai dan norma yang menyuburkan persatuan dan kesatuan bangsa.
Merumuskan kebijakan dan regulasi yang konkret, tegas dan tepat dalam aspek kehidupan dan pembangunan bangsa, yang mencerminkan keadilan bagi semua pihak, semua wilayah.
Upaya bersama dan pembinaan integrasi nasional memerlukan kepemimpinan yang arif dan efektif.

Strategi Penanggulangan

Adapun strategi yang digunakan dalam penanggulangan disintegrasi bangsa antara lain :

Menanamkan nilai-nilai Pancasila, jiwa sebangsa dan setanah air dan rasa persaudaraan, agar tercipta kekuatan dan kebersamaan di kalangan rakyat Indonesia.
Menghilangkan kesempatan untuk berkembangnya primodialisme sempit pada setiap kebijaksanaan dan kegiatan, agar tidak terjadi KKN.
Meningkatkan ketahanan rakyat dalam menghadapi usaha-usaha pemecahbelahan dari anasir luar dan kaki tangannya.
Penyebaran dan pemasyarakatan wawasan kebangsaan dan implementasi butir-butir Pancasila, dalam rangka melestarikan dan menanamkan kesetiaan kepada ideologi bangsa.
Menumpas setiap gerakan separatis secara tegas dan tidak kenal kompromi.
Membentuk satuan sukarela yang terdiri dari unsur masyarakat, TNI dan Polri dalam memerangi separatis.
Melarang, dengan melengkapi dasar dan aturan hukum setiap usaha untuk menggunakan kekuatan massa.

Untuk mendukung terciptanya keberhasilan suatu kebijaksanaan dan strategi pertahanan disarankan :

Penyelesaian konflik vertikal yang bernuansa separatisme bersenjata harus diselesaikan dengan pendekatan militer terbatas dan professional guna menghindari korban dikalangan masyarakat dengan memperhatikan aspek ekonomi dan sosial budaya serta keadilan yang bersandar pada penegakan hukum.
Penyelesaian konflik horizontal yang bernuansa SARA diatasi melalui pendekatan hukum dan HAM.
Penyelesaian konflik akibat peranan otonomi daerah yang menguatkan faktor perbedaan, disarankan kepemimpinan daerah harus mampu meredam dan memberlakukan reward and punishment dari strata pimpinan diatasnya.
Guna mengantisipasi segala kegiatan separatisme ataupun kegiatan yang berdampak disintegrasi bangsa perlu dibangun dan ditingkatkan institusi inteligen yang handal.

Rabu, 11 Juni 2008

KonfLik sosiaL

Konflik Sosial Ditinjau Dari Segi Struktur dan Fungsi

Abstrak:
Dalam kehidupan sosial manusia, di mana saja dan kapan saja, tidak pernah lepas dari apa yang disebut “konflik” (Chandra, 1992; Lauer, 1993). Istilah “konflik” secara etimologis berasal dari bahasa Latin “con” yang berarti bersama dan “fligere” yang berarti benturan atau tabrakan. Dengan demikian “konflik” dalam kehidupan sosial berarti benturan kepentingan, keinginan, pendapat, dan lain-lain yang paling tidak melibatkan dua pihak atau lebih. William Chang (2001) mempertanyakan “benarkah konflik sosial hanya berakar pada ketidakpuasan batin, kecemburuan, iri hati, kebencian, masalah perut, masalah tanah, masalah tempat tinggal, masalah pekerjaan, masalah uang, dan masalah kekuasaan?”, ternyata jawabnya “tidak”; dan dinyatakan oleh Chang bahwa emosi manusia sesaat pun dapat memicu terjadinya konflik sosial.Dalam International Encyclopaedia of The Social Sciences Vol. 3 (halaman 236-241) diuraikan mengenai pengertian konflik dari aspek antropologi, yakni ditimbulkan sebagai akibat dari persaingan antara paling tidak dua pihak; di mana tiap-tiap pihak dapat berupa perorangan, keluarga, kelompok kekerabatan, satu komunitas, atau mungkin satu lapisan kelas sosial pendukung ideologi tertentu, satu organisasi politik, satu suku bangsa, atau satu pemeluk agama tertentu (Nader, t.t.). Dengan demikian pihak-pihak yang dapat terlibat dalam konflik meliputi banyak macam bentuk dan ukurannya.

Selain itu dapat pula dipahami bahwa pengertian konflik secara antropologis tersebut tidak berdiri sendiri, melainkan secara bersama-sama dengan pengertian konflik menurut aspek-aspek lain yang semuanya itu turut ambil bagian dalam memunculkan konflik sosial dalam kehidupan kolektif manusia (Chang, 2001).Kehidupan sosial itu, kalau dicermati komponen utamanya adalah interkasi antara para anggota. Sehubungan dengan interaksi antaranggota itu ditemukan berbagai tipe. Tipe-tipe interaksi sosial secara umum meliputi: cooperative (kerjasama), competition (persaingan) dan conflict (pertikaian). Dalam kehidupan sosial segari-hari tampaknya selain diwarnai oleh kerjasama, senantiasa juga diwarnai oleh berbagai bentuk persaingan dan konflik. Bahkan dalam kehidupan sosial tidak pernah ditemukan seluruh warganya sepanjang masa kooperatif. Sehubungan dengan itu, yang menjadi pertanyaan dalam tulisan ini adalah “apakah konflik itu erat hubungannya dengan struktur sosial, dan apa fungsi konflik itu bagi kehidupan sosial manusia?”.